بسم الله الرحمن الرحيم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتة
إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أشهد ألا إله إلا الله وحده لا شريك له, وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أَمَّا بَعْدُ
Kita memasuki pembahasan tentang Rahn atau gadai.
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam memberikan penjelasan tentang gadai,
لَا يَغْلَقُ الرَّهْنُ، الرَّهْنُ مِنْ رَاهَنِهِ لَهُ غنمه وَعَلِيهِ غرمه
Tidak ada istilah gadai yang hangus, di masyarakat ada budaya yang buruk, ketika pihak yang berhutang gagal membayar (jatuh tempo) dan dia belum mampu membayar hutangnya.
Sering kali barang gadai tersebut dianggap hangus, alias tidak dapat diminta kembali. Dan berapapun nilainya maka barang tersebut akan menjadi milik pihak yang mengutangi atau kreditur sebagaimana hutangnya dianggap lunas.
Menganggap lunas hutang dengan catatan menjadikan barang gadai secara otomatis milik pihak kreditur, ini yang disebut غلقُ الرَّهنُ , atau dengan bahasa (Indonesia) menganggap hangus barang gadai, dan ini tidak dibenarkan dalam Islam.
الرَّهْنُ مِنْ رَاهَنِهِ لَهُ غنمه وَعَلِيهِ غرمه
Barang gadai itu, statusnya masih sah milik pihak yang menggadaikan, pihak yang berhutang, kemudian menggadaikan barang tersebut.
Dengan demikian ia masih tetap berhak mendapatkan manfaat dari barang tersebut yaitu misalnya ketika dilelang, ketika dijual. Ternyata nilainya lebih besar dibanding piutang yang belum dia bayar. Maka selisih harga tersebut secara hukum tetap menjadi milik pihak yang menggadaikan.
وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ
Dan sebaliknya kalau ternyata nilai jualnya di bawah hutang, lebih kecil dibanding nominal hutang yang dia pikul (tanggung) maka ia masih tetap berkewajiban untuk melunasi sisa pembayaran, tidak dianggap hangus begitu saja.
Sebagaimana kalau ternyata terjadi kerusakan pada barang gadai atau terjadi pertambahan nilai atau mungkin terjadi perkembangan, misalnya hewan ternak karena ia beranak pinak. Maka kemanfaatan barang gadai dan resiko barang gadai sepenuhnya masih tetap dan ditanggung dan menjadi milik orang yang menggadaikan. Sehingga tidak ada kata hangus.
Dari hadits ini dapat ditarik satu isyarat, satu petunjuk yang jelas bahwa barang gadai bukan alat atau instrumen pembayaran, tetapi hanya sebatas alat bukti yang salah satu fungsinya adalah bisa dialih-fungsikan sebagai media untuk pembayaran dengan cara dilelang, dijual sesuai dengan harga pasar (harga yang wajar).
Kemudian hasil penjualannya itu, pihak kreditur atau yang menghutangi mengambil haknya, kalau ada lebih maka harus dikembalikan kalau kurang maka dia berhak untuk meminta pelunasan dari pihak yang menggadaikan atau pihak yang berhutang.
Kembali pada redaksi pernyataan dari muallif:
كل ما جاز بيعه جاز رهنه
“Semua barang yang boleh dijual maka boleh digadaikan.”
Ini satu pemahaman yang berdasarkan persepsi pertama bahwa barang gadai itu adalah instrumen pembayaran. Namun sekali lagi, aliran ini atau sudut pandang ini kurang tepat, kurang sejalan dengan dalil, karena dalil-dalil yang ada justru mengisyaratkan bahwa gadai itu tujuan utama atau fungsi utamanya adalah sebagai alat bukti, bukan sebagai alat pembayaran.
Dengan demikian apa yang disampaikan oleh muallif, bahwa semua yang boleh dijual belikan, boleh digadaikan, ini kurang tepat, karena pembayaran atau barang gadai tidak serta merta, tidak selalu akan dijual belikan.
Tetapi fungsi utama barang gadai adalah sebagai alat bukti, karena itu praktek di masyarakat dan itu secara de facto secara hukum syariat adalah boleh.
Menggadaikan semisal ijasah, KTP atau KK, itu benar. Dan masyarakat alhamdulillah walaupun di negeri kita bermadzhab syafi’i tetapi secara de facto secara kenyataan, faktanya mereka walaupun tidak mengakui madzhab Maliki tetapi prakteknya mereka menerapkan madzhab Imam Malik yaitu menggadaikan barang-barang yang tidak bisa dijual belikan seperti Ijazah, KTP, KK , SIM dan yang serupa.
Namun semua orang sepakat ketika pihak kreditur mendapatkan jaminan berupa KK, Ijazah, KTP atau SIM, maka semua masyarakat akan mengakui bahwa adanya KK itu sebagai bukti yang nyata (valid dan meyakinkan) bahwa telah terjadi hubungan dagang atau utang piutang dengan kedua belah pihak.
Kurang dan lebihnya saya mohon maaf.
وبالله التوفيق و الهداية
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته