بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصْحابه ومن والاه
Anggota grup whatsapp Dirosah Islamiyyah, yang semoga dimuliakan oleh Allah.
Kita lanjutkan pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang ditulis oleh Fadhilatul Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu ta’ala.
Masih kita pada pasal Beriman Kepada Allah.
Kemudian setelahnya beliau mendatangkan firman Allah:
وَنَـٰدَيْنَـٰهُ مِن جَانِبِ ٱلطُّورِ ٱلْأَيْمَنِ وَقَرَّبْنَـٰهُ نَجِيًّۭا
“Dan Kami memanggilnya dari samping kanan gunung Thur dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami di waktu dia munajat (kepada Kami).
Ini masih berkaitan dengan nabi Musa karena beliau adalah kalimullah dan Beliau termasuk nabi yang banyak disebutkan oleh Allah didalam Al-Qur’an.
Allah memanggil nabi Musa alayhissalam dari samping kanan gunung Thur (karena gunung Thur ada samping kanan dan kiri), para ulama menjelaskan yang dimaksud dengan نَـٰدَيْنَـٰهُ = kami memanggilnya ; dalam bahasa Arab “memanggil” = “نداء” adalah mengucapkan dengan suara yang keras.
Orang dinamakan memanggil kalau dia mengucapkan ucapan yang keras. Kalau dia mengucapkan ucapan yang lirih itu bukan memanggil.
ينَـٰدَ maksudnya adalah memanggil dengan suara yang keras. Mereka mengatakan, “Anda صوت fulan, Anda صوت من fulan” maksudnya adalah lebih keras suaranya. Fulan suaranya lebih keras daripada si fulan.
Karena نداء dalam bahasa Arab adalah suara yang keras, dan Allah saat itu memanggil nabi Musa alayhissalam dengan suara yang keras.
وَقَرَّبْنَـٰهُ نَجِيًّۭا
“Dan kemudian kami dekatkan dia dalam keadaan bermunajat.“
Para ulama menjelaskan dalam keadaan bermunajat berarti di sini Allah berbicara dengan suara lirih.
Jadi ketika Musa alayhissalam jauh maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memanggil dia dengan suara yang keras, kemudian Allah dekatkan, kemudian Allah berbicara lirih kepada nabi Musa alayhissalam.
⇒ Awalnya Allah berbicara dengan keras setelahnya Allah berbicara dengan suara yang rendah.
Maka seperti yang disampaikan oleh syaikh bahwasanya Allah berbicara كيف شاء = sesuai dengan kehendak-Nya. Mau dengan suara yang keras atau suara yang rendah, kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat kalam.
Masalah sifat kalam banyak sekali aliran-aliran yang menyimpang dan tersesat sehingga ada sebagian penulis yang dia mengkhususkan kitab khusus tentang aqidah Ahlus Sunnah tentang kalamullah Azza wa Jalla ini.
⇒ Jadi dia adalah termasuk sifat Allah dan sifat Allah bukan makhluk. Kalau kita sudah yakin bahwasanya dia adalah sifat Allah maka sifat Allah bukan makhluk.
Adapun Mu’tazilah mereka meyakini kalamullah adalah makhluk dan bukan sifat. Mereka meyakini Allah menciptakan kalam-Nya. Kalam di luar seperti Allah menciptakan bumi, Allah menciptakan langit, mereka meyakini bahwasanya Allah menciptakan kalam, bukan Allah berbicara.
Sehingga mereka meyakini Al-Qur’an adalah makhluk bukan sifat di antara sifat-sifat Allah. Kemudian mereka mengatakan bahwasanya firman Allah (misalnya) :
وَإِنْ أَحَدٌۭ مِّنَ ٱلْمُشْرِكِينَ ٱسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَـٰمَ ٱللَّهِ
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah.” [QS At-Tawbah: 6]
Kalam di sini mereka meyakini ini adalah penyandaran makhluk kepada yang menciptakan, إضافة خلق الى خلقه. Penyandaran makhluk kepada yang menciptakan, Jadi Allah yang menciptakan kalam.
Mereka mengatakan sebagaimana, نَاقَةَ ٱللَّهِ, مَسَـٰجِدَ ٱللَّهِ.
نَاقَةَ ٱللَّهِ = untanya Allah, di sini adalah penyandaran makhluk kepada yang menciptakan.
مَسَـٰجِدَ ٱللَّهِ maksudnya adalah penyandaran makhluk kepada yang menciptakan.
بَيْتِي penyandaran rumah Allah kepada yang menciptakan.
Mereka mengatakan bahwasanya kalamullah satu bab dengan penyandaran-penyandaran tadi.
Dan yang benar bahwasanya kalamullah di sini adalah penyandaran sifat kepada مَوْصُوْف – maushufnya. Penyandaran sifat kepada yang memiliki sifat tadi.
Kalamullah, kalam adalah sifat Allah. Allah , Dialah yang memiliki sifat tadi. Jadi Al-idhafah penyandaran di dalam dalil yang di-idhafah-kan kepada Allah disandarkan kepada Allah itu ada dua macam.
- Idhafatul Al-Khalq kepada khaliq
- Penyandaran sifat kepada yang memiliki sifat
Dan untuk kalamullah maka ini adalah penyandaran sifat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kepada yang memiliki sifat dan bukan penyandaran makhluk kepada khaliqnya.
Dari mana kita tahu ?
Berdasarkan dalil-dalil, menunjukkan bahwasanya Al-Qur’an bukan makhluk dan zaman dahulu sempat terjadi fitnah yang besar.
Di zaman Al-Imam Ahmad, orang-orang Mu’tazilah yang meyakini bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, saat itu sempat mereka dekat dengan beberapa penguasa, sehingga beberapa penguasa ada yang sempat terpengaruh. Bahkan mereka mewajibkan rakyatnya untuk meyakini keyakinan ini dan diajarkan di sekolah-sekolah sampai tingkat yang paling dasar, mereka dipaksa untuk meyakini bahwasanya Al-Qur’an adalah makhluk Allah Azza wa Jalla.
Para ulama menjelaskan aqidah yang benar termasuk di antaranya adalah Al-Imam Ahmad rahimahullah beliau termasuk yang gigih, tegar di dalam menghadapi itu semua dengan kesabaran.
Menjelaskan kepada manusia, menjelaskan kepada ulama-ulama Mu’tazilah dengan dalil, dan beliau bersabar dengan siksaan, dengan penjara, dengan cambuk, dan beliau tidak memberontak kepada penguasa. Karena beliau masih meyakini bahwa mereka adalah muslim dan mereka hanya terpengaruh saja dengan ulama-ulama Mu’tazilah tadi.
Akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan pertolongan kepada beliau, ada di antara penguasa yang mendapatkan hidayah dan akhirnya justru mendukung dakwah beliau rahimahullah.
Demikianlah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini. Dan in sya Allah kita bertemu kembali pada pertemuan yang selanjutnya pada waktu dan keadaan yang lebih baik.
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته