Materi 12 ~ Tidak Beramal (2) – Seorang yang berilmu tetap dianggap jahil (bodoh) sampai ia mengamalkan ilmunya

Ustadz Abu Haidar As-Sundawy حفظه لله تعالى
AdabSyarah Kitab

🌍 Kajian Kitab
👤 Al-Ustadz Abu Haidar As-Sundawy حفظه الله
📗 Kitab Awaa’iqu ath Thalab (Kendala Bagi Para Penuntut Ilmu)
📝 as-Syaikh Abdussalam bin Barjas Alu Abdul Karim حفظه الله
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Berkata Fudail bin Iyadh rahimahullah “Seorang yang berilmu akan terus dianggap bodoh tentang ilmunya sehingga dia mengamalkannya. Apabila dia mengamalkannya barulah dia berilmu tentang ilmu itu”. Maka coba perhatikan point yang berikut ini, hal ini pun merupakan pengalaman dari para ulama.
Mengamalkan ilmu salah satu faktor penopang terpelihara, terjaga dan menetapnya ilmu dalam diri orang itu sebagaimana tidak mengamalkan disebabkan menyia-nyiakan ilmu dan dilupakannya ilmu itu. Kalau tidak diamalkan maka akan lupa. Oleh karena itu berkata Asy-Sya’bi rahimahullah ini termasuk pengalaman mereka, para ulama, kata beliau dan beliau berbicara bukan atas nama pribadi tetapi mewakili para ulama yang satu pengalaman dengan beliau makannya menggunakan kata-kata kami. Berkata Asy-Sya’bi “Kami nasta’in (minta pertolongan. Maknanya menopang, mendukung) untuk menghafalkan hadits dengan cara mengamalkan isi hadits itu. Maka kami meminta bantuan untuk bisa menghafalkan hadits dengan cara mengamalkan isi hadits itu. Dan kami meminta bantuan untuk bisa belajar hadits dengan cara shaum, memperbanyak shaum Allah akan mempermudah kita untuk memahami hadits, tidak sekedar memahami hanya isinya semata-mata tetapi juga dihafalkan, juga dimudahkan untuk mampu mengamalkan isi dari hadits itu”. Hal itu perkataan Asy-Sya’bi beserta teman-temannya para ulama.
Berkata Abdullah bin Mas’ud radiyallahuanhu ini merupakan resep untuk orang yang selama ini terkena penyakit susah hafal tetapi cepat lupa, “Aku yakin kalau seorang hamba lupa terhadap ilmu yang pernah dipahaminya itu karena dosa yang pernah diamalkannya”. Bagaimana caranya agar ilmu ini tidak mudah dilupakan ? jawabannya yakni cintailah ilmu dengan kadar kecintaan sebesar mungkin. Umpamanya ilmu itu orang. Kalau kita mencintai orang pastinya kepikiran terus menerus, keingat-ingat terus. Semakin lama tidak berjumpa maka semakin kangen, betah lama-lama dengan orang yang kita cintai. Jadikanlah ilmu sesuatu yang sangat-sangat kita cintai itu.
Oleh karena itu kebiasaan salafushaleh zaman dahulu selalu mengamalkan ilmu-ilmu yang mereka lakukan. Apa akibatnya ? akibatnya mereka mampu menjaga ilmu dalam bentuk hafalan, diberkati ilmu mereka.
Berkata Abu Abdurahman As Sulami rahimahullahuta’ala beliau adalah seorang tabi’in sezaman dengan para sahabat tidak sezaman dengan Nabi Muhammad ﷺ, mereka belajar islam kepada para sahabat. Beliau berkata, “Telah menceritakan kepada kami orang-orang yang membacakan Al-Qur’an kepada kami (yaitu para sahabat, para sahabat mengajarkan Al-Qur’an kepada tabi’in lalu para tabi’in menghafalkannya, tidak hanya membacakan tentu saja menafsirkan isinya seperti para sahabat dengarkan tafsiran itu dari Nabi ﷺ) bahwa sesungguhnya mereka dahulu minta dibacakan Al-Qur’an kepada Nabi ﷺ. Apabila mereka mempelajari 10 ayat mereka tidak berpindah dulu kepada ayat yang lain sebelum 10 ayat itu diamalkan mereka, memahami isinya dan mengamalkannya bersama-sama. Mengamalkannya dibimbing langsung dalam pengawasan Nabi ﷺ. Nabi ﷺ menyampaikan 10 ayat tafsirkan maknanya kemudian diamalkan sama-sama. Setelah 10 ayat ini dihafalkan, dipahami dan diamalkan sama-sama kemudian berpindah ke ayat 10 selanjutnya terus dan terus seperti itu.
Makanya berkata Abdullah bin Umar radiyallahuanhu “Sesungguhnya seorang hamba diantara kami dikalangan para sahabat bila dia hafal surat Al-Baqarah, Ali-Imron, dan An-Nisa dia sangat mulia dalam pandangan kami. Karena kalau seseorang hafal surat otomatis sudah dengan amalannya itu. Karena belajar itu untuk diamalkan bukan hanya sekedar pengetahuan semata-mata.
Berkata Abdurahman As Sulami, “Maka kami mempelajari Al-Qur’an dan mengamalkannya sama-sama”. Jadi ilmu para sahabat, ilmu para ulama zaman dahulu adalah cermin dari amalnya. Apa yang mereka riwayatkan, apa yang mereka ajarkan, apa yang mereka tuliskan dalam kitab-kitab mereka itu sudah teraplikasi dalam bentuk amalan. Mereka tidak mungkin menyampaikan sesuatu yang mereka belum pernah mengamalkannya. Dari sinilah kenapa para ulama zaman dahulu begitu mulia dihadapan murid-muridnya karena ilmunya sudah mencerminkan amalnya. Kalau ilmunya tinggi tidak tertandingi ini menunjukan amalnya juga seperti itu. Betapa mulianya, dan agungnya kedudukan para ulama karena bukan sekedar ilmu tetapi amal.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ ، أشْهَدُ أنْ لا إلهَ إِلاَّ أنْتَ ، أسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Materi Kajian Kitab Awaa’iqu ath Thalab