🌍 Kajian Kitab
👤 Al-Ustadz Abu Haidar As-Sundawy حفظه الله
📗 Kitab Awaa’iqu ath Thalab (Kendala Bagi Para Penuntut Ilmu)
📝 as-Syaikh Abdussalam bin Barjas Alu Abdul Karim حفظه الله
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Adapun Tamanni (berkhayal, berangan-angan) ada dua macam yakni ada yang terpuji dan ada yang tercela. Adapun yang terpuji adalah mengangan-angankan melakukan kebaikan yang disyari’atkan. Contohnya adalah Haji dan Umroh, membuat pesantren. Jadi kalau kita mengangan-angankan kebaikan tetapi kita belum mampu melakukannya lalu berangan-angan “Seandainya saya kaya raya, saya akan bangun masjid” itu mengangan-angankan kebaikan yang terpuji. Lalu adakah batasannya bahwa angan-angan tersebut bagus dan terpuji ? ada. Ada tiga syarat. Pertama bertekad untuk melakukan angan-angan itu bila kemampuannya sudah ada. Makna azam sudah ada ikhtiar sesuai dengan kemampuan tidak sekedar tekad didalam hati namun sudah ada ikhtiar, apa itu ikhtiarnya yakni berapapun uang yang dia punya sebagian diantaranya dia keluarkan untuk berinfaq dijalan Allah azza wa jalla. Tekad ingin infaq dan sodaqoh, ingin berbuat untuk dijalan Allah itu sudah keliatan sejak diawal-awal dan sekarang-sekarang. Kedua angan-angannya tidak melanggar batas syari’at tetap didalam koridor syari’at yang dibolehkan, dianjurkan oleh syari’at. Contohnya mengangan-angankan ingin membangun masjid, adapun kalau angan-angannya melanggar syari’at “Saya kalau kaya raya, saya akan bikin kasino (tempat judi)” maka tidak boleh dan haram hukumnya. Ketiga yang di angan-angankan itu bukan sesuatu yang memang menjadi kewajiban manusia. Contoh, “Saya nanti kalau sudah kaya raya mau sholat“, “Saya nanti kalau sudah ada waktu luang baru mau ngaji“. Terbalik luangkan waktu untuk mengaji, disela-sela kesibukan mencari dunia. Walaupun sekedar angan-angan, mengangan-angankan kebaikan bisa melahirkan pahala yang besarnya sama dengan melaksanakan apa yang di angan-angankan nya itu. Pernah kita ungkapkan sebuah hadits Bab Tauhid tentang bab “Law” mengatakan kata-kata law apa arti law yakni seandainya. Seandainya itu terlarang tetapi tidak seluruhnya terlarang dan ada yang dibolehkan bahkan dianjurkan. Salah satu yang terlarang adalah mengangan-angankan keburukan. Kalau mengangan-angankan kebaikan itu dianjurkan. Contoh mengangan-angankan keburukan “Seandainya saya kaya raya, saya akan bersenang-senang“, maka dia berdosa sama kadar dosanya dengan apabila dia benar-benar melakukan itu. Maka mengatakan seandainya berangan-angan atau mengangankan keburukan seperti itu haram, tidak boleh, terlarang dan dosa yang kadar dosanya sama dengan melaksanakan angan-angan buruknya tersebut. Sebaliknya orang yang mengangan-angankan kebaikan dia akan memperoleh pahala yang sama dengan orang yang mengerjakan kebaikan yang di angan-angankan nya itu. Itulah yang mahmud atau yang mamduh maknanya terpuji, angan-angan terpuji adalah angan-angan kebaikan. Adapun yang majruh (tercela) diungkapkan oleh imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu ta’ala ketika mensyarah penjelasan Abu Ismail Al-Harawi ketika menerangkan mufsidaatul qolb (perusak hati) dia berkata, “Diantara perusak hati yang kedua adalah mengarungi samudera angan-angan, itu adalah samudera yang tidak bertepi, lautan yang tidak berpantai (tidak ada ujungnya), itulah lautan yang diarungi oleh orang-orang yang bangkrut dalam masalah ilmu (dia tidak memiliki ilmu apa-apa) yang dia lakukan hanyalah mengkhayal, berangan-angan, melamun sebagaimana seorang penyair mengatakan, “Apabila malam hari aku melewatkan malam-malam tersebut, muttabato itu maknanya dengan cara melewatkan yang pikabitaeun (bikin orang kepengen), itu orang sungguh-sungguh banget malam hari tidak tidur tetapi menela’ah ilmu“. Karena apa ? karena berangan-angan modal utama bagi orang-orang yang bangkrut. Itu penjelasan imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullahu ta’ala.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ ، أشْهَدُ أنْ لا إلهَ إِلاَّ أنْتَ ، أسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته