Materi 20 ~ Mengambil Ilmu Dari Ashaaghir (4) – Ambillah Ilmu Syar’i Dari Ulama Kibaar (Senior)

Ustadz Abu Haidar As-Sundawy حفظه لله تعالى
AdabSyarah Kitab

🌍 Kajian Kitab
👤 Al-Ustadz Abu Haidar As-Sundawy حفظه الله
📗 Kitab Awaa’iqu ath Thalab (Kendala Bagi Para Penuntut Ilmu)
📝 as-Syaikh Abdussalam bin Barjas Alu Abdul Karim حفظه الله
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Kata Fudhail bin Iyadh telah sampai kepadaku bahwa para ulama zaman dahulu apabila mereka belajar ilmu maka mereka langsung mengamalkannya. Diamalkan itu maksudnya adalah dipraktekkan dalam kesehariannya bukan dipakai untuk memvonis orang.
Baru ngaji sekali dua kali tau ini sunnah dan bid’ah sampai dirumah langsung memvonis bapak bid’ah, ibu maksiat, kakaknya semua menyimpang, sesat. Maka hal demikian bukanlah ciri mengamalkan ilmu tetapi memvonis orang dengan ilmu yang dia dengar dan pahami maka hal tersebut keliru. Seharusnya nambah ilmu maka nambah juga akhlak, nambah ilmu maka nambah juga sikap bijak, nambah ilmu maka harus menyenangkan banyak orang, membuat orang-orang banyak yang suka kepada dirinya karena kemuliaan akhlaqnya. Ayahnya, Ibunya, Adik Kakaknya itu orang-orang yang belum sampai dakwah dan ilmu kepada mereka maka yang mereka butuhkan bukan divonis seperti orang yang bersalah tetapi dakwahi mereka secara bijak. Apabila diri kita belum mampu mendakwahinya maka diam itu lebih selamat dan cari waktu, moment yang pas untuk menyampaikannya.
Para ulama zaman dahulu apabila belajar mereka mengamalkan, mereka sibuk beramal, apabila mereka sibuk tidak berinteraksi dengan orang-orang maka orang itu merasa kehilangannya, dan ketika merasa kehilangan maka mereka mulai mencari, dan ketika mereka mulai mencari maka ulama akan menghindar dikerumuni oleh banyak orang.
Wahai para pencari ilmu kalau engkau ingin menginginkan ilmu dari sumbernya para ulama khibar yang sudah berilmu dan sudah tua yang jenggot mereka sudah beruban, jasad mereka sudah rapuh, kekuatannya sudah melemah karena ilmu dan mengajar maka menempel lah kepada mereka sebelum kehilangan mereka. Gali ilmu yang ada pada dirinya sebelum kamu berpisah dari dirinya sebab dimalam yang gelap gulita malam purnama pun pergi entah kemana.
Para ulama mungkinkah ada pada setiap zaman ?
Jawabannya ada. Tetapi entah dimana dan sedang apa. Mungkin mereka sedang ibadah atau sedang belajar, mereka sedang mengajar dan kita tidak tahu mereka sedang belajar dan mengajar jika ada maka silahkan menempel lah kepada mereka.
Ada peringatan dari mualif (penulis), “Pada zaman sekarang ini barometer untuk menetapkan mana yang ulama dan mana yang bukan itu sudah sangat longgar dikalangan kebanyakan orang. Manusia menjadikan orang yang asal memberi ceramah, memberi tausyiah, memberi khutbah jum’at itu sudah dianggap sebagai ulama. Kemudian yang boleh dimintai fatwa, yang boleh diambil ilmu-ilmu mereka. Apalagi kalau di kampung asal mimpin do’a saja yang panjang sudah dianggap ustadz, kiyai atau ulama. Hal ini kenyataan yang menyakitkan mengakibatkan keburukan merata, kemudhorotan merajalela karena menyandarkan ilmu kepada yang bukan ahlinya. Nabi ﷺ bersabda,

إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

“Kalau sebuah urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancuran mu” (HR. Bukhari)
Hal ini tidak hanya didalam urusan agama tetapi dalam urusan semuanya termasuk urusan dunia. Kalau suatu urusan bukan diserahkan kepada ahlinya maka akan hancur hal ini juga berlaku dalam urusan agama.
Hendaklah para penuntut ilmu berhati-hati mengambil ilmu dari mereka (yang asal disebut ustadz), background pendidikannya bukan agama atau mungkin pernah masuk pesantren satu dua tahun pernah belajar ilmu tetapi tidak paham isinya kecuali kalau ada ahlul ilmi yang sudah kenal. Dikenal karena keilmuannya, dikenal karena kiprahnya, dikenal karena direkomendasikan oleh ulama-ulama lain yang selevel atau bahkan yang lebih ilmunya. Tidak setiap orang yang mampu beretorika disebut orang yang berilmu, tidak setiap orang diserahi untuk mengurus urusan kaum muslimin dan yang sejenisnya dianggap orang berilmu maka tidak, harus dilihat kemampuan keilmuannya sebab banyak orang yang dikagumi hanya karena kemampuan beretorika semata. Adapun kedalaman ilmunya orang awam tidak tahu asal ngambil ayat, ngambil hadits sampaikan penafsirannya walaupun berasal dari otak dia maka orang awam tidak tahu itu benar atau salah. Yang jelas ada ayatnya, ada haditsnya dan retorikanya memukau, menyenangkan orang yang mendengarkannya maka dianggap ulama. Hal tersebut adalah tidak benar dan penjelasan tadi tidak bermakna tidak boleh mendengarkan dan mengambil manfaat dari nasehat-nasehat mereka bukan seperti itu maknanya tetapi jangan mengambil ilmu syar’i dari mereka dan jangan mengangkat mereka ke posisi melebihi dari kapasitas mereka. Kalau dia hanya sebagai da’i dan ustadz maka jangan dianggap sebagai ulama mujtahid yang seluruh pertanyaan urusan syariah ditunjukan kepadanya.
Inilah Awaiq Ath-Thallab yang ke empat mengambil ilmu dari asshogir (orang-orang kecil).
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ ، أشْهَدُ أنْ لا إلهَ إِلاَّ أنْتَ ، أسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Materi Kajian Kitab Awaa’iqu ath Thalab