🌍 Kajian Kitab
👤 Al-Ustadz Abu Haidar As-Sundawy حفظه الله
📗 Kitab Awaa’iqu ath Thalab (Kendala Bagi Para Penuntut Ilmu)
📝 as-Syaikh Abdussalam bin Barjas Alu Abdul Karim حفظه الله
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Para ulama menulis ini didasarkan kepada keikhlasan-nya, salah satu diantara nikmat Allah kepada para ustadz adalah adanya dikalangan murid-muridnya orang yang mengingatkan sang ustadz dari kekeliruan dan kesalahan. Ingat, ustadz juga manusia pasti ada salahnya tidak mungkin benar terus setiap ceramahnya. Kepada seorang ustadz, seorang alim, seorang ulama, seorang da’i, seorang mubaligh Allah anugerahkan dikalangan murid-muridnya atau kawan-kawannya atau orang lain, mungkin sesama ustadz yang peduli untuk mengingatkan dia dari kesalahan, membimbingnya kearah kebenaran agar ketidaktahuan yang selama ini masih ada pada dirinya hilang. Mungkin ada ustadz yang karena kekurangtahuan suatu masalah tetapi dia kadung berani bicara masalah itu lalu keliru, salah ada yang mengingatkan, “tadi tuh mohon maaf sepengetahuan saya tidak begitu tetapi mungkin saya yang salah mana dalilnya”, “oh saya juga tidak tahu, “nah, yang saya tahu dalilnya begini.. begini.. begini..”, itulah anugerah Allah yang mengutus orang itu untuk mengingatkan kita. Makanya adanya orang yang menegur sang ustadz karena kesalahan itu perlu disyukuri, bersyukur pertama kepada Allah kemudian setelah itu bersyukur kepada orang yang menegurnya. Orang yang menyebabkan Allah menurunkan hidayah kepada dia, baik orang ini muridnya ataupun bukan. Disini pakai kata “Tsumma” tidak boleh, kita harus bersyukur pertama kepada Allah dan juga kepada para muhsinin itu tidak boleh ngomong begitu. Begitu umpamanya ada orang yang berbuat baik kepada kita, “Alhamdulillah saya bersyukur kepada Allah dan kepada Anda yang telah berbuat kebaikan kepada saya”, boleh apa tidak ? tidak boleh. Karena kalau memakai kata-kata “dan” berarti menyamakan syukur kita kepada Allah dengan syukur kita kepada orang itu, syukur itu ibadah, tidak boleh itu syirik tanpa kita sadari. Yang harus kita lakukan adalah kita harus bersyukur kepada Allah kemudian setelah itu bersyukur kepada para muhsinin, pakai “Tsumma” (kemudian) jangan memakai “Wa” (dan). Apa bedanya ? jauh bedanya. Disebutkan didalam satu kaidah tentang ilmu nahwu, tentang wa’athof kaidahnya berbeda maknanya jauh berbeda. Kalau “wa” menyamakan antara bersyukur kepada Allah dan kepada manusia dengan kadar syukur yang sama maka ini tidak boleh. Tetapi kalau “tsumma” untuk menunjukan urutan yang terpisah jauh bahwa syukur kita kepada manusia bagian dari syukur kita kepada Allah tetapi dengan kadar yang tidak sama, itu maknanya. من لا يشكر الناس لا يشكر الله “Siapa orang yang tidak bersyukur kepada manusia berarti dia tidak bersyukur kepada Allah”. Apa maknanya ? bahwa syukur seseorang kepada Allah tidak akan diterima oleh Allah, tidak akan dianggap beribadah dan berpahala oleh Allah kalau dia juga tidak bersyukur kepada sesama manusia. Makanya berterimakasih kepada manusia dengan cara yang dibolehkan syariat tidak boleh di lebih-lebihkan tetap disyariatkan asal tidak sama dengan kadar syukur kita kepada Allah azza wajalla. Jadi kalau umpamanya ustadz salah ada diantara muridnya atau kawannya yang menegur, yang memberitahukan kekeliruan dan kesalahan dia itu nikmat Allah kepada dia, Allah tidak menginginkan si ustadz itu terus menerus diatas kesalahannya, Allah ingin mengkoreksi orang itu dengan cara ada orang lain yang mengingatkan orang yang salah tersebut.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ ، أشْهَدُ أنْ لا إلهَ إِلاَّ أنْتَ ، أسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته