🌍 Kajian Kitab
👤 Al-Ustadz Abu Haidar As-Sundawy حفظه الله
📗 Kitab Awaa’iqu ath Thalab (Kendala Bagi Para Penuntut Ilmu)
📝 as-Syaikh Abdussalam bin Barjas Alu Abdul Karim حفظه الله
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Salah satu diantara penyebab lahirnya ta’ashshub kultus individu secara berlebihan kepada orang tertentu yang dikagumi, baik dikagumi karena ilmunya walaupun ilmunya tinggi tetapi akhlaknya bejat umpamanya, tetap saja atau karena kesholehannya walaupun bodoh atau karena turunannya, karena ini turunan orang hebat lalu dikultuskan kehebatan orang tuanya pasti nitis ke anaknya walaupun anaknya ini jauh dibanding bapaknya tidak belajar karena betapa banyak orang tua yang ulama besar tetapi tidak nurun ke anaknya, kiyai anak-anaknya jadi dokter, jadi insinyur, jadi ahli dibidang ilmu-ilmu umum tidak ada yang menjadi penerus ayahnya, tidak ada yang menjadi ustadz, jadi begitu ayahnya meninggal siapa yang mengurus pesantrennya ? orang lain murid-muridnya, anak-anaknya berprofesi dibidang duniawi, banyak yang seperti itu. Ilmu ini bukanlah warisan dari ayah-ayah kepada anak-anak mereka, tidak ada seorang anak pun walaupun orang tuanya ulama besar begitu lahir sudah hafal Al-Qur’an, tidak ada tetap keilmuan, kepandaian harus melalui proses yang sangat panjang dan melelahkan proses belajar. Berkata imam Al-Bukhori dalam kitab shahihnya, ” انماالعلم بالتعلم “, ‘ilmu itu hanyalah diperoleh/didapat dengan cara dipelajari’. Dipelajari dengan sungguh-sungguh, dengan mengerahkan segenap kemampuan yang kita miliki dari seluruh aspek kemampuan pikiran, daya hafalan, kemampuan finansial, kemampuan fisik, kemampuan mental, seluruhnya itu dikerahkan demi ilmu. Ada orang-orang yang hanya karena turunan para kiyai terdahulu maka anak cucunya pun dikultuskan dianggap kesholehannya, kewaliannya nitis ke dia lalu dikultuskan walaupun bodoh, walaupun akhlaknya umpamanya tidak mencerminkan kesholehan tetapi tetap karena keturunan dikultuskan. Kultus individu inilah yang membuat orang tidak peduli, baik orang yang dikultuskan ini salah ataupun benar, zalim ataupu madzlum, apakah orang ini berilmu atau tidak pokoknya tetap dibela, ini termasuk salah satu diantara penyebab lahirnya ta’ashshub kepada seseorang. Keempat al khoto fil fahm, ini salah satu cabang dari poin yang pertama yakni kebodohan. lahir poin yang keempat yaitu kesalahan didalam memahami (memahami islam, memahami ayat, memahami hadits) karena keliru lalu lahir sikap ta’ashshub tapi sikap ta’ashshubnya itu dia dalili oleh ayat tertentu, hadits tertentu yang menurut dia menjadi hujjah, menjadi dalil tentang sikap ta’ashshubnya. Dia keliru, dia salah paham tentang masalah tersebut dan apa akibatnya ? akibatnya sikap ta’ashshubnya seperti yang diungkapkan diawal tadi dianggap sebagai bentuk kebaikan yang sangat agung maka ketika orang ini dinasehati bukannya menerima tetapi malah memusuhi orang-orang yang menasehatinya. Lahir yang kelima, ini maksud terakhir dari penyebab ta’ashshub. Kelima hilangnya adab dan akhlak. Ta’ashshub adalah salah satu diantara bentuk akhlak yang sangat buruk, kenapa buruk ? pertama karena menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunah, setiap yang menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah pasti itu buruk, tetapi kan banyak perkara duniawi yang tidak ada didalam Al-Qur’an, tidak ada didalam Sunnah tapi dianggap baik ? nah itu mah tidak bertolak belakang, ini mah yang bertolak belakang. Ada hal yang selaras dengan Al-Qur’an, selaras dengan Hadits walaupun tidak ada didalam Al-Qur’an, tidak ada didalam Hadits secara tersurat tetapi pasti ada secara tersirat. Dianggap sebagai akhlak yang buruk ini ta’ashshub karena bertolak belakang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka itu buruk, itu yang pertama. Kedua dilihat dari segi dampak, apa dampak dari ta’ashshub ? saling memusuhi, perpecah belahan, saling dengki, saling iri, saling menjauhi dan bahkan saling mencela, menuduh, memvonis dengan tuduhan dan vonis yang buruk kepada orang yang berbeda dengan dirinya, maka tidak diragukan lagi bahwa ini adalah akhlak yang sangat buruk. Keburukan akhlak inilah yang memperkuat sikap ta’ashshubnya dan sikap ta’ashshub inilah yang tidak dimiliki oleh para ulama yang berakhlaqul karimah, para ulama itu kuat tidak memegang pendapat pribadinya ? sangat kuat apalagi berdasarkan hujjah. Apakah para ulama itu satu sama lain seluruhnya pendapatnya sama ? tidak, berbeda malah dengan perbedaan yang kontradiktif, ditengah berbeda dengan orang lain, ditengah sikap kuatnya dia berpegang teguh kepada pendapatnya, ditengah dia berbenturan pendapat dengan lawannya apakah ada kebencian, cacian yang terlontar dari ucapannya, dari tulisannya ? sama sekali tidak. Mereka tetap mengagungkan, menghormati ulama-ulama lain yang berbeda pendapat dengan dirinya, memujinya dan menyanjungnya, dan menyuruh orang-orang untuk mengambil ilmu dari orang-orang yang menjadi lawan pendapatnya, itu tetap begitu tidak ada terkesan sedikitpun kebencian, kedengkian, permusuhan diantara sesama mereka, karena apa ? karena mereka menerapkan akhlak. Sekali terlontar cacian itu jadi bomerang bagi dirinya, dunia dan akhirat, jangan dikira bahwa cacian kepada orang lain itu senjata telak untuk memberikan kerugian kepada pihak lain, tidak. Kerugian itu akan kembali kepada dirinya. Demikian yang bisa disampaikan
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ ، أشْهَدُ أنْ لا إلهَ إِلاَّ أنْتَ ، أسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته